Ali bin Abi Talib

"Al haqqu bila nizam ya zimul batil bi nizam"
kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan kalah dengan kebatilan yang di atur dengan baik


Senin, 18 Agustus 2008

DI SANA KITA DIDIK

Sebungkus kacang dengan sekaleng soft drink. kaki terjulur di sofa dengan tangan kiri mengamit remote. Ah.....kita di giring..........pada kematian. Bahkan lebih dari itu. Kotak kaca itu memudarkan pandangan meleburkan hati perlahan-lahan dan membekukan pada jurang-jurang kenisbian dunia. Dan disana kita di didik.
Televisi.......kotak kaca itu benar-benar dashyat, ia lebih bahaya dari matahari yang memancarkan ultravioletnya. Menggandakan melanin sehingga menghitamkan kulit. Melainkan ia mampu lebih dari itu. Ia menusuk ke hati, meluluhkan keimanan, ia menjalani berbagai virus, meracuni dan mematikan segala potensi diri. menggerakan seluruh tubuh dan jiwa dalam kelalaian. Membangun kita untuk mengecap berbagai rasa, pembangkangan, menciptakan seribu satu alasan. Ia lebih dari sebuah amnesia, melumpuhkan saraf otak dan disana kita di didik.
Kita tak meragukan lagi bahwa televisi adalah bahaya yang mengancam. Mengancam keberlangsungan, kekuatan jiwa-jiwa muda yang segar. Jiwa-jiwa remaja dan anak-anak bahkan jiwa-jiwa orang orang tua. Menjadi jiwa-jiwa yang lemah, membudak dan manja. Ia berhasil memperdaya dan mendustakan pandangan kita. Ia menyuguhkan fatamorgana kehidupan pada mimpi-mimpi hina. Ia menjajakan komersialisme dan antek kapitalisme yang menjunjung sekularisme.
Saya tak habis pikir entah apa yang ada di benak para produser dan konglomerat-konglomerat yang kita beri nama televisi itu. Suatu kali saya mengamati, alangkah buruknya dan alangkah lemahnya. Buruk pada manajemen dan lemah pada pengawasan. Sepanjang hari hampir sebagian televisi kita menyuguhkan program-program yang menggiring pada pembodohan masyarakat. Program-program yang mengacaukan pola pikir anak-anak muda dan program-program yang menyesatkan.
Misalnya sebuah stasiun televisi yang menyuguhkan program-program percintaan yang di bubuhi hal-hal yang diluar batas penalaran manusia (takhayul) dan itu berlangsung dari jam 08.00 pagi hingga siang hari. Sedikit di selingi program berita dan di lanjutkan kembali dengan film-film tersebut hingga sore harinya. Dan malamnya di sambung dengan program kontes musik hingga pukul 12 malam dan setelah itu disambung kembali dengan film takhayul kembali hingga subuh. Nilai apakah yang dapat kita petik ? benarkah televisi menjadi sarna pendidikan ? perlu di revisi kembali bahwa pemahaman televisi sebagai sarana pendidik pada akhir-akhir ini. Dan saya melihat sebagian televisi justru menggunggulkan program-program yang kolot. Ironis lagi ada televisi yang melabeli diri sebagai stasiun televisi pendidikan justru semakin membelakangi anak-anak untuk berfikir bodoh. Dengan program-program yang terkesan mendidik dan islami seperti entong dengan segala keajaibannya, dan si badut dengan sepeda ajaibnya.
Televisi kita bukannya menanamkan paradigma berfikir yang cerdas dan sehat. Justru memundurkan, dan harus di akui bahwa televisi kita sekarang adalah televisi yang menjadi sarana komersil dan manut pada kapitalisme. Mereka mengikuti tren kebutuhan masyarakat sehingga tidak lagi memperdulikan nilai-nilai dan cenderung latah. Televisi tidak mampu lagi menjadi media pendidik dan pencerdas bangsa. Melainkan tok hanya untuk sarana hiburan semata. Dan mereka para produser berdalih bahwa masyarakat butuh hiburan”. Ya.......benar-benar msyarakat kita butuh hiburan. Hiburan yang terlalu over. Bukan sebagai refreshing dari kesibukan, kepenatan dan rasa bosan. Melainkan hiburan yang mentotol-totol otak dan hati menjadi kering, kosong melompong.
Hiburan yang menjauhkan anak-anak dari buku, dari kreatifitas dan inovasinya. Menjadi imajinasi semu, hiburan yang menuntut para remaja untuk konsumtif. Mengkomersilkan setiap nilai dan mengawang impian. Kosong, bolong, mematerikan.
Hiburan yang membenamkan budaya edukatif orang tua pada pola permisif akan zaman. Televisi benar-benar setan yang menghembuskan buhul-buhul sejak fajar hingga fajar kembali. Ia melenakan dengan goyangan erotis. Memabukan dengan cinta yang skeptis dan membuat kita bersikap apatis.
Tiap malam kita di suguhkan acara-acara yang membanggakan aurat, wanita-wanita telanjang yang di komentari dengan komentar-komentar orang-orang bodoh. Tua muda menari, hilang rasa malu dan amat memalukan. Mereka bangga dengan audisi kaum kafir tersebut. Dari senja hingga malam dan kita pun di lalaikan untuk zikir pada Allah
Melalui televisi kita di ajarkan untuk melalaikan shalat dan menyegerakan gerakannya. Melupakan tuma’ninah demi sedetik acara televisi yang sayang di tinggalkan. Kita dilenakan oleh kisah-kisah cinta yang hampa penuh dendam dan intrik. Di televisi pulalah anak-anak kita di ajarkan budaya jahiliyah, menjadikan perempuan sebagai gula-gula yang di suguhkan dengan aurat-auratnya di pajang dalam iklan-iklan konsumtif
Sinetron orang-orang borju, kemewahan, keindahan dengan menafikan kemiskinan dan kemelaratan sehingga kita terlupa bahwa bangsa ini sedang sekarat dengan jutaan orang-orang melarat. Ia benar-benar membutakan
Sudah saatnya kita waspada terutama orang tua. Jangan salahkan jika anak-anak sudah berani melawan, melupakan tugas-tugas sekolahnya, merasa modern dan mengangggap anda orang yang kuno. Karena itulah pola yang di ajarkan televisi pada mereka. Dan itu tidak lebih dari upaya kaum kapitalis untuk merongrong bangsa ini mundur melalui kotak kaca itu.
Apa jadinya jika alur fikiran anak-anak kita layaknya si entong, atau cinta fitri bahkan black street / pacar pertama. Entah bagaimana pula dengan tuan takur dan mamamia yang menginginkan bangsa ini menjadi pe-dangdut dadakan dan menjadi negara yang masyarakatnya menjadi penyanyi dan berjoget sepanjang hari. Entahlah...........
Yang jelas sadarlah bahwa televisi kita sekarang begitu asyik dengan aurat-auratnya, dengan ajaran materialis dan konsumtif, takhayul dan penuh angan-angan yang semua itu merupakan rongsokan-rongsokan jahiliyah yang telah lama terkubur. Meskipun tidak semua stasiun televisi seperti itu, namun ingat ”disana kita di didik”.

Tidak ada komentar:

Hidayatullah.com News

Liputan6: RSS 0.92


copyright@Kurnia okta reza 2008